TikTok Tolak Diatur RUU Penyiaran, Ogah Disamakan dengan Lembaga Siar Konvensional
25 July 2025, 23:11 WIB
TikTok Indonesia secara tegas menolak dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI Komisi I. Berikut selengkapnya.
Kapanlagi.com - TikTok Indonesia secara tegas menolak dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI Komisi I. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar pertengahan Juli 2025, Head of Public Policy TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, menyampaikan keberatannya.
Ia menyatakan bahwa TikTok bukan lembaga penyiaran, melainkan platform berbasis konten buatan pengguna atau user-generated content (UGC), sehingga tidak tepat jika tunduk pada aturan yang dibuat untuk media siaran konvensional seperti televisi dan radio.
Menurut Hilmi, TikTok hanyalah penyedia ruang digital bagi masyarakat untuk berkreasi dan berekspresi, bukan pengelola atau produsen utama konten. Ia menyebut bahwa pemberlakuan aturan seperti dalam UU Penyiaran justru bisa menghambat pertumbuhan kreator digital dan memunculkan ketidakpastian hukum bagi sektor ekonomi digital.
(kpl/tdr)
Advertisement
Karakteristik Berbeda
Lebih jauh, Hilmi menjelaskan bahwa platform UGC seperti TikTok memiliki karakteristik yang berbeda secara fundamental dari lembaga penyiaran konvensional. Dalam sistem penyiaran tradisional, konten dikurasi, diproduksi, dan ditayangkan oleh satu entitas profesional yang memiliki lisensi penyiaran resmi.
Sementara itu, TikTok tidak memproduksi konten sendiri, melainkan menyediakan ruang bagi jutaan kreator individu untuk berbagi video pendek secara langsung kepada audiens mereka. Proses distribusi konten di TikTok bersifat algoritmis dan terpersonalisasi, menyesuaikan dengan preferensi pengguna, bukan siaran linier yang bersifat satu arah seperti televisi.
Karena alasan inilah, menurut TikTok, pendekatan pengawasan dan regulasi yang berlaku untuk lembaga penyiaran tidak bisa diberlakukan begitu saja kepada platform digital seperti mereka.
Advertisement
Berada di Bawah Naungan Undang-Undang Komdigi

Platform UGC juga memiliki sistem moderasi tersendiri, baik melalui teknologi berbasis AI maupun tim moderator manusia, yang terus dikembangkan untuk menjaga konten tetap sesuai dengan kebijakan komunitas masing-masing.
Sebagai gantinya, TikTok meminta agar tetap diatur di bawah kerangka regulasi yang selama ini digunakan, yaitu Undang-Undang terkait Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atau Komunikasi Digital (Komdigi). Hilmi menegaskan bahwa Kominfo selama ini sudah memiliki mekanisme pengawasan dan kerja sama dengan platform digital yang berjalan cukup efektif.
TikTok menyatakan kesiapannya untuk terus bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah peredaran konten negatif, hoaks, maupun pelanggaran hukum lainnya, namun dalam koridor hukum yang sesuai dengan karakteristik platform digital.
Sama-Sama Sampai ke Publik
Menurut mereka, pengawasan berbasis pendekatan digital yang fleksibel dan kolaboratif akan jauh lebih efektif dibandingkan pendekatan statis seperti dalam UU Penyiaran. Mereka juga menyoroti potensi tumpang tindih regulasi jika semua platform digital diharuskan mengikuti regulasi penyiaran konvensional.
Sementara itu, DPR Komisi I beralasan bahwa keinginan untuk memasukkan TikTok dan platform digital lainnya ke dalam RUU Penyiaran didasari oleh kebutuhan untuk menciptakan keadilan regulasi di antara semua jenis media.
Beberapa legislator, seperti Amelia Anggraini, menilai bahwa saat ini terjadi kesenjangan regulasi antara media penyiaran konvensional dan platform digital yang sama-sama menyebarkan informasi atau hiburan ke publik.
Aturan Menyeluruh

DPR melihat perlunya aturan yang menyeluruh agar platform digital juga memiliki tanggung jawab hukum dan etika yang setara dengan media televisi atau radio, terutama mengingat besarnya pengaruh konten digital terhadap masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja.
Salah satu usulan yang mencuat adalah larangan memiliki akun ganda, karena dinilai membuka celah bagi penyebaran hoaks, penipuan, dan manipulasi opini publik. DPR juga mengkhawatirkan algoritma konten yang bisa mendorong radikalisme atau konten tidak sehat jika tidak diawasi secara ketat.
Namun, TikTok bukan satu-satunya yang mendapatkan sorotan dari DPR. Dalam kesempatan yang sama, Meta (perusahaan induk Facebook dan Instagram), Google, dan YouTube juga mendapat pertanyaan seputar kesediaan mereka diatur dalam RUU Penyiaran.
Enggan Tunduk
Seluruh perwakilan platform menyatakan pada dasarnya mereka terbuka untuk diajak berdialog dan bekerja sama dengan pemerintah, namun menolak bila harus tunduk pada aturan yang tidak sesuai dengan struktur bisnis dan teknologi mereka.
Dalam RDPU tersebut, terlihat bahwa DPR berupaya mengarahkan semua platform digital besar untuk tunduk pada satu payung hukum yang sama, terlepas dari apakah itu media sosial, mesin pencari, atau video platform.
Hal ini menunjukkan bahwa RUU Penyiaran yang tengah dibahas tidak hanya berdampak pada TikTok saja, tetapi juga pada seluruh ekosistem digital yang beroperasi di Indonesia.
Punya Fitur Khas

TikTok sendiri memiliki sejumlah fitur khas yang membedakannya dari platform sosial lain. Salah satunya adalah algoritma For You Page (FYP) yang sangat presisi dalam merekomendasikan konten berdasarkan perilaku dan minat pengguna. Fitur seperti duet, stitch, dan live shopping juga menjadi elemen yang memperkuat posisi TikTok sebagai ruang kreatif yang sangat dinamis dan interaktif.
Platform ini memungkinkan siapa saja menjadi penyiar atau pembuat konten, tanpa perlu studio, kru, atau izin penyiaran. Transformasi ini menjadikan TikTok sebagai “media siar” baru di era digital, meski secara struktur tetap berbeda dari penyiaran konvensional.
TikTok awalnya dikenal sebagai Musical.ly, kemudian diakuisisi dan diintegrasikan ke dalam ekosistem ByteDance, perusahaan teknologi asal Tiongkok. Seiring waktu, platform ini bukan hanya tempat hiburan, tapi juga edukasi, promosi UMKM, hingga kampanye sosial dan politik.
Sangat Dominan
Secara statistik, TikTok menjadi platform yang sangat dominan di Indonesia. Data dari GoodStats mencatat bahwa Indonesia adalah negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia, yaitu sekitar 157,6 juta pengguna aktif per Juli 2024.
Bahkan dari sisi durasi penggunaan, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan hampir 45 jam per bulan untuk menonton konten TikTok, jauh di atas rata-rata global yang hanya sekitar 35 jam per bulan.
Ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik TikTok di pasar Indonesia, baik sebagai media hiburan, edukasi, maupun sebagai ladang ekonomi digital melalui fitur monetisasi konten dan TikTok Shop. TikTok berhasil membentuk ekosistem kreator lokal yang sangat produktif dan menjadi motor penggerak industri konten digital di Indonesia.
Berdampak Positif pada Perekonomian
Ke depan, TikTok diprediksi akan terus memperluas perannya sebagai platform multifungsi. Di berbagai negara, TikTok telah merambah layanan edukasi, live shopping, promosi layanan publik, bahkan kerja sama dengan pemerintah lokal untuk kampanye informasi publik.
Di Amerika Serikat, TikTok berdampak positif bagi perekonomian. Bahkan, TikTok yang awalnya diblokir di Amerika, kini diselamatkan oleh Donald Trump. TikTok pun berjanji untuk bekerja sama dengan pemerintahan Trump.
"TikTok telah beroperasi di AS selama bertahun-tahun dan sangat populer di kalangan pengguna Amerika. TikTok telah memainkan peran positif dalam meningkatkan lapangan kerja dan konsumsi di AS," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing pada Senin (20/1).
Menimbang Kembali
Ini menjadi contoh bagaimana pengaruh besar TikTok dapat dimanfaatkan oleh pemerintah. Namun jika TikTok diatur dengan pendekatan yang terlalu kaku seperti lembaga penyiaran konvensional, bukan tidak mungkin akan terjadi stagnasi atau bahkan eksodus kreator dan pengiklan dari platform ini.
Pemerintah perlu berhati-hati menimbang keseimbangan antara pengawasan konten dan kemerdekaan berkreasi di ranah digital yang kini jadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.